Uskup Agung & Pahlawan Kemerdekaan Indonesia

Mari mengenal secara singkat Uskup Agung Katolik Pribumi Pertama di Indonesia yang juga sebagai salah satu Patriot demi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dengan mottonya yang terkenal baik tokoh agama maupun tidak.

"100% Patriot, 100% Katolik"

Bagi yang sudah mengetahuinya, mari bernostalgia dan bagi yang belum, mari mengenalnnya. semoga bermanfaat. 

                                                   Soegijapranata Nasional 8 Nov 1960 p1.jpg

Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ

Lahir di Surakarta, Hindia Belanda pada tanggal 25 November 1896 dengan nama Soegija, Ia lahir dari keluarga muslim Abdi Dalem Keraton Susuhunan Surakarta. Saat pindah ke Yogyakarta, Soegija bergabung dengan Kolese Xaverius (sekolah katolik) yang diminta langsung oleh Pr. Frans van Lith (Franciscus Georgius Josephus Van Lith; salah satu guru di Kolese Xaverius & pastor pertama di jawa yang membawa dasar-dasar katolik serta membaptis orang-orang pribumi pada masa pendudukan kolonial belanda). Setelah belajar singkat di Indonesia, Ia berangkat ke Belanda untuk belajar selama mungkin dan ditahbiskan pada tanggal 15 Agustus 1931 lalu menambahkan "pranata" dibelakang namanya.
Pada tahun 1933 Seogijapranata dikirim pulang ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor dan memulai kimanannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tapi Ia diberi paroki sendiri setelah Gereja Santu Joseph di Bintaran 1934. Pada tahun 1940 dikonsentrasikan sebagai Vikaris Apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang yang saat itu juga menghadapi tantangan Kekaisaran Jepang yang menduduki Hiandia Belanda.

Soegijapranata membantu Pertempuran 5 Hari (15-19 Oktober 1945) melawan Tentara Jepang pada masa transisi kekuasaan Kolonial Belanda di Semarang setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim bantuan untuk menyelesaikan pertempuran, namum pertempuran semakin rusuh. Pada tahun 1947 selama Revolusi Nasional Dia pindah ke yogyakarta dan berusaha meningkatkan Pengakuan Indonesia dan meyakinkan orang-orang katolik untuk berjuang demi negara.

Soegijapranata kembali ke semarang setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Ia mengembangkan pengaruh katolik serta menjadi perantara beberapa faksi-faksi politik. Ia ditahbiskan segabai Uskup Agung pada tanggal 3 Januari 1961 saat Tahta Suci mendirikan 6 Provinsi Gerejawi di Wilayah Indonesia. Sebelum wafat Ia sempat bergabung mengkuti Sesi Pertama dari Konsili Vatikan II.

Perjalanannya sebagai salah satu Pahlawan Indonesia, merupakan bagian dari sejarah yang tidak pernah ragu dalam pengembangan iman katolik maupun memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, banyak pria dan wanita serta umat dan pastor ditahan baik orang pribumi maupun orang belanda, banyak geraja pun dilarang beribadah juga barang katedral pun disita. Soegijapranata menyatakan bahwa penggal kepalanya dulu baru boleh mengambil gereja, jepang tidak jadi mengambil gereja dan beralih ke tempat lain. Soegijapranata berhasil membuat sebanyak mungkin umat berpengaruh dalam kependudukan jepang dan berhasil membujuk penguasa saat itu, Dia juga membantu seminari-seminari terdekat agar semakian kuat dan menghasilkan pastor-pastor supaya bisa kembali membangun kekuatan iman semakin kuat.

Ia banyak andil dalam masa Revolusi Nasional bersama dengan tokoh Nasional lainnya. Ketika Ia berkedudukan di Gereja Santu Joseph di Bintaran, Dia menesehati para umat dengan mengatakan bahwa mereka "baru boleh pulang kalau mati" segabai bentuk melawan penjajah. Dalam pidatonya melalui RRI (Radio Republik Indonesia), bahwa orang-orang katolik akan bekerja sama dengan pejuang Indonesia. Dia mulai berteman dengan presiden Soekarno sejak Dia mengirim surat ke Vatikan untuk membuka Diplomasi Vaitkan dan Indonesia, Georges de Jonghe d'Ardoye datang ke Indonesia pada bulan Desember 1947 sebagai Duta bertemu dengan Presiden Soekarno. Bahkan Ia menjadi perantara umat yang tertindas dan pemerintah (dalam hal politik) hanya untuk membebaskan secara utuh krisis yang sedang berlangsung saat itu.

Pada masa itu juga, Ia berusaha agar orang-orang katolik mendapat peran dalam pemerintahan, bersama dengan Mr. Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono mengadakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia kemudian lahirlah Partai Katolik Indonesia setelah perang revolusi. Dia dan Partai Katolik Indonesia berusaha membuat umat katolik mendapat peran, kesejahteraan dan kesetaraan di Indonesia. Setelah itu bannyak konfilk yang terjadi dengan partai-partai lain seperti Partai Komunis Indonesia yang mau menguasi Indonesia dengan asas-asas komunisme, sampai meninggal Ia bersekutu dengan Presiden Soekarno untuk membuat mereka bubar. Namun tak kunjung berhasil, puncaknya ketika PKI membuat rencana yang terkenang sampai sekarang mengkudeta Presiden Soekarno yaitu Gerakan 30 September (G 30S) pada tahun 1965.

Pada tanggal 3 Januari 1961 Soegijapranata diangkat sebagai Uskup Agung di Semarang. Saat mengikuti Konsili Vatikan II, Ia termasuk dalam anggota Komisi Persiapan Sentral dari 6 Uskup Agung di Asia. Kembali dari sana kondisinya menurun dan langusng dirawat di RS Elisabeth Candi pada tahun 1963. Ditahun yang sama Dia menghadiri pemilihan Paus Paulus VI di Vatikan tapi, kondisinya tidak membaik dan harus inap di Canasius Hospital.
Setelah mendapat serangan jantung di sebuah susteran di desa Steyl, Belanda Ia meninggal dunia pada 22 Juli 1963. Dan sesuai Keputusan Presiden Nomor 152/1963 jenazah Soegijapranata diterbangkan pulang ke Indonesia atas permintaan Presiden Soekarno lalu diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia yang pemakamannnya dipimpin Kardinal Bernadus Johannes Alfrink dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal di Semarang pada tanggal 30 Juli 1963.

Selama hidup dan setelah meninggal Ia sangat dibanggakan oleh orang jawa, umat katolik maupun non katolik karena kekuatanya selama masa penjajahan belanda, pendudukan jepang dan masa revolusi nasional.

Pidato Soegijapranata saar Kongres Katolik Seluruh Indonesia di Semarang pada tahun 1954

"Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, sebagaimana yang tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik dan dengan demikian juga mengasihi negera dengan segenap hati"